Step Towards Syar'i

Step towards Syar’i
Oleh Puspita Dewi Rahayu

Terlahir dari keluarga yang biasa saja, dalam artian tidak terlalu memahami ilmu-ilmu islam dengan baik. Memakai kerudung masih pasang−lepas. Sudah ada keinginan dalam diri untuk menutup aurat tapi masih takut tidak konsisten.

Pada akhirnya aku memutuskan memakainya, dengan niat tidak akan melepasnya lagi. Aku kerja di Sungai Lilin, kerja di toko bangunan dan pemiliknya orang cina. Dia orang yang sangat tekun dengan agamanya, dekat dengan pendeta, di rumahnya banyak patung Yesus, setiap sore beliau selalu menghidupkan nyanyian-nyanyian tentang Yesus. Waktu itu aku masih pakai kerudung yang tipis seperti saringan santan, masih pakai celana jeans dan baju kaos dimasukkan ke dalam celana. Setelan seperti itu menurutku sangat keren. Aku kerja bersama teman sekelas saat SMA, namanya Hadis. Kalau dekat waktu siang, kami masak, sedangkan toko yang jaga pegawai laki-laki. Setelah selesai masak, kami siapkan makanan di meja makan untuk keluarga pemilik toko. Kebetulan pemilik toko itu tinggal berdua dengan anak tirinya, Steven namanya. Ganteng luar biasa seperti oppa korea, matanya sipit, putih, gayanya cool. Kalau kak Stev lewat suka curi-curi pandang, aku betah di sana gara-gara kak Stev, meski kerjanya berat kalau sambil ngelirik-ngelirik dia jadi berasa ringan.

Di sana, aku sering memperhatikan cara mereka makan, mereka selalu berdoa dan bersyukur. Di situ aku merasa sangat malu, mau makan boro-boro baca doa tanda syukur atas apa yang Allah berikan. Pernah waktu toko lagi ramai, sudah masuk jam makan siang, tapi pak bos bilang satu saja yang masak, jadi cuma Hadis yang masak tapi dibantuin pak bos. Setelah selesai dan toko mulai sepi aku disuruh makan, kebetulan tinggal aku sendiri yang terakhir belum makan. Di meja ada sayur sop dicampur potongan sosis, tempe goreng, sambal, ikan goreng. Tapi aku tertarik dengan sop karena ada sosisnya, setelah aku makan rasanya kenyal-kenyal, setengah piring sudah hampir habis, tiba-tiba Hadis datang bertanya “makan sama apa?” aku jawab “ini sop, tapi kok rasanya kenyal-kenyal ya?” Hadis langsung kaget dan mengucap istighfar sambil bilang “Ya Allah Nur, itu bukan sosis, itu daging B-A-B-I.” dia menyebutnya dengan dieja. Aku pun terkejut dan langsung aku muntahkan tapi tidak bisa. Waktu itu aku berpikir, kukira aku  sudah murtad karena makan babi, aku langsung syahadat berkali-kali.

Setelah insiden makan daging itu, rasanya hilang selera makan. Rasanya ingin pulang, rindu masakan rumah. Keinginanku pulang dan berhenti kerja semakin besar setelah pak bos menanyakan nabi Isa itu siapa, kepada aku dan Hadis. Aku menjelaskan sebisanya waktu itu dan dia mulai menjelaskan menurut agama dia bahwa nabi Isa itu roh tuhan karena dia dilahirkan dari seorang ibu tanpa bapak, secara tidak langsung berarti Isa anak tuhan, logika saja mana bisa seorang wanita hamil kalau tidak pernah melakukan hubungan suami−istri, semua itu memang sudah kehendak tuhan. Karena aku malas debat dan ditambah pemahamanku kurang, aku mundur pura-pura sibuk ngecek nota barang, tidak terlalu mendengarkan dia bercerita.

Kemudian datanglah teman pak bos dan mereka pun ngobrol, entah kenapa aku kurang suka lihat temannya itu. Kami tinggal serumah dengan pak bos, rumahnya di atas dan tokonya di bawah. Temannya pak bos itu ternyata menginap. Saat aku ke dapur dia bilang “Kamu ini pakai jilbab dalam rumah emang ini masjid, kalau mau pakai jilbab itu pas kerja aja.” Mendengar kalimat itu rasanya seperti terkena sengatan listrik. Aku baru belajar kok seenaknya dia bicara seperti itu. Meski kerudungku masih tipis, tapi aku sudah paham tidak boleh membuka aurat di depan yang bukan mahrom.

Akhirnya aku pulang, selama tiga bulan aku di rumah diinfokan teman ada pekerjaan. Tidak pikir panjang, keesokannya aku langsung berangkat, sampai di sana aku disambut dengan teman-teman baru yang ramah dan anggun. Berhubung belum paham cara kerja mereka, jadi disuruh lihat-lihat dulu, memperhatikan mereka. Jam 4  sore kami pulang. Kami yang rumahnya jauh diizinkan tinggal di asrama pemilik toko. Kami memanggilnya ibu dan bapak. Kamar karyawan laki-laki di atas dan kamar perempuan di bawah.
Ketika aku mau keluar ada yang mencegah dan bilang “Kamu kalau mau keluar dipakai kerudungnya kan ada cowok di sini. Kalau mau lepas jilbab cukup di kamar atau di kamar mandi saja, karena di sini banyak cctv. Itu bukan peraturan tapi bentuk kepedulian aku kepadamu karena sesama wanita harus saling menjaga.” Batinku, ‘seperti inilah yang aku inginkan.’

Mbak Dita kami memanggilnya, dia lulusan pondok pesantren di Jogja. Penampilannya anggun dan senyumnya yang tidak membosankan. Aku mulai berpikir, ‘aku ingin penampilan seperti dia yang anggun dan tertutup rapi atau aku yang keren menurutku ini?’
Selalu memakai gamis, kerudung lebar dan kaos kaki, menjadi keindahan yang membuatku terpikat untuk mengikuti penampilannya. Dengan rok seadanya aku mulai merubah penampilanku. Awalnya aku sadari aku ikut-ikutan. Tapi aku merasa sangat nyaman dan langkahku menjadi lebih ringan. Aku mulai menata hati, memperbaiki niat, perubahanku bukan karena ikut-ikutan tapi harus karena Allah semata. Semua ini bukan peraturan yang dibuat-buat oleh manusia, melainkan oleh Allah tuhan semesta alam, untuk menjaga wanita, untuk melindunginya dari mata jahat yang suka dengan mereka yang mengumbar aurat.

Komentar